Sekitar 30-an emak-emak yang tergabung dalam Barisan Emak-emak Militan (BEM) berdemo di depan kantor KPU, Senin (3/9/2018). Mereka menuntut Jokowi mundur dari jabatannya sebagai presiden karena telah terdaftar sebagai capres di Pilpres 2019. Sementara itu, di media sosial banyak beredar meme copy-an Pasal 6 UU Nomor 42 Tahun 2018 itu disertai kata-kata "Jokowi Sudah Sah Bukan Presiden Indonesia dan Harus Mundur Sekarang Juga".
Terkait desakan mundur tersebut, pakar Hukum Tata Negara yang juga Ketum PBB, Prof. Yusril Ihza Mahendra buka suara. Menurutnya, seperti dikutip inilah.com (8 September 2018), Presiden yang menjadi petahana tidak ada kewajiban untuk cuti atau mengundurkan diri karena tidak ada ketentuan yang tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya dalam Bab yang mengatur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Yusril menyebut, hal itu tidak hanya berlaku bagi Presiden Jokowi, tetapi juga bagi siapa saja yang menjadi presiden petahana. UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sudah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diberlakukan sejak tanggal 16 Agustus 2017.
Yusril menegaskan, tidak adanya ketentuan Presiden dan Wapres petahana untuk berhenti atau cuti itu adalah aturan yang benar dilihat dari sudut Hukum Tata Negara. Alasannya, akan terjadi kerumitan yang membawa implikasi kepada stabilitas politik dan pemerintahan di negara ini.
Yusril memberi contoh, jika Presiden petahana berhenti setahun sebelum masa jabatannya berakhir, maka Presiden wajib digantikan oleh Wakil Presiden sampai akhir masa jabatannya. Untuk itu, diperlukan Sidang Istimewa MPR untuk melantik Wapres menjadi Presiden.
Bagaimana jika Wapres sama-sama menjadi petahana bersama dengan Presiden, atau Wapres maju sebagai Capres, maka keduanya harus berhenti secara bersamaan. Kalau ini terjadi, maka Menhan, Mendagri, dan Menlu (triumvirat) akan membentuk Presidium Pemerintahan Sementara. Dalam waktu 30 hari triumvirat wajib mempersiapkan SI MPR untuk memilih Presiden dan Wapres yang baru.
Kalau hal seperti di atas terjadi setiap lima tahun, maka bukan mustahil akan terjadi kerawanan politik di negara kita ini. Kerawanan itu bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara. Negara itu tidak boleh vakum kepemimpinan karena bisa menimbulkan keadaan kritis yang sulit diatasi.
Andai ketika jabatan Presiden vakum, terjadi keadaan darurat atau keadaan bahaya, siapa yang berwenang menyatakan negara dalam keadaan bahaya? Hanya Presiden yang bisa melakukan itu. Wakil Presiden, apalagi Triumvirat, tidak punya kewenangan melakukannya. Oleh karena itu, tegas Yusril, Presiden petahana, Jokowi atau siapa pun, demi kepentingan bangsa dan negara, tidak perlu berhenti atau cuti.
Nah, lho! Demo boleh, tapi harus punya argumen logis dan dasar hukum yang kuat, dong! Sudah dibela-belain berpanas-panasan dan teriak-teriak, eh, dasar hukumnya tidak ada. Bisa memalukan anak-cucu, apalagi yang demo emak-emak yang katanya selalu teriak harga-harga serba mahal, tapi berpenampilan serba "wah"! Gak berkah ini, mah!
Sudahlah! Taati saja aturan main yang berlaku! Ciptakan suasana yang sejuk dan kondusif menjelang putaran Pilpres 2019. Para kandidat juga sudah jelas figurnya. Berikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih siapa calon pemimpinnya. Bukan dengan cara provokasi atau intimidasi.
Berekspresi di muka umum tanpa argumen dan dasar hukum yang jelas hanya mempermalukan diri sendiri! Lebih baik diam ketimbang teriak-teriak di jalan, tapi hanya latah dan ikut-ikutan, kecuali kalau memang tak punya kerjaan. Sudah, itu saja! ***
Baca Sumber
Terkait desakan mundur tersebut, pakar Hukum Tata Negara yang juga Ketum PBB, Prof. Yusril Ihza Mahendra buka suara. Menurutnya, seperti dikutip inilah.com (8 September 2018), Presiden yang menjadi petahana tidak ada kewajiban untuk cuti atau mengundurkan diri karena tidak ada ketentuan yang tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya dalam Bab yang mengatur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Yusril menyebut, hal itu tidak hanya berlaku bagi Presiden Jokowi, tetapi juga bagi siapa saja yang menjadi presiden petahana. UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sudah resmi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Pasal 571 huruf a UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diberlakukan sejak tanggal 16 Agustus 2017.
Yusril menegaskan, tidak adanya ketentuan Presiden dan Wapres petahana untuk berhenti atau cuti itu adalah aturan yang benar dilihat dari sudut Hukum Tata Negara. Alasannya, akan terjadi kerumitan yang membawa implikasi kepada stabilitas politik dan pemerintahan di negara ini.
Yusril memberi contoh, jika Presiden petahana berhenti setahun sebelum masa jabatannya berakhir, maka Presiden wajib digantikan oleh Wakil Presiden sampai akhir masa jabatannya. Untuk itu, diperlukan Sidang Istimewa MPR untuk melantik Wapres menjadi Presiden.
Bagaimana jika Wapres sama-sama menjadi petahana bersama dengan Presiden, atau Wapres maju sebagai Capres, maka keduanya harus berhenti secara bersamaan. Kalau ini terjadi, maka Menhan, Mendagri, dan Menlu (triumvirat) akan membentuk Presidium Pemerintahan Sementara. Dalam waktu 30 hari triumvirat wajib mempersiapkan SI MPR untuk memilih Presiden dan Wapres yang baru.
Kalau hal seperti di atas terjadi setiap lima tahun, maka bukan mustahil akan terjadi kerawanan politik di negara kita ini. Kerawanan itu bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara. Negara itu tidak boleh vakum kepemimpinan karena bisa menimbulkan keadaan kritis yang sulit diatasi.
Andai ketika jabatan Presiden vakum, terjadi keadaan darurat atau keadaan bahaya, siapa yang berwenang menyatakan negara dalam keadaan bahaya? Hanya Presiden yang bisa melakukan itu. Wakil Presiden, apalagi Triumvirat, tidak punya kewenangan melakukannya. Oleh karena itu, tegas Yusril, Presiden petahana, Jokowi atau siapa pun, demi kepentingan bangsa dan negara, tidak perlu berhenti atau cuti.
Nah, lho! Demo boleh, tapi harus punya argumen logis dan dasar hukum yang kuat, dong! Sudah dibela-belain berpanas-panasan dan teriak-teriak, eh, dasar hukumnya tidak ada. Bisa memalukan anak-cucu, apalagi yang demo emak-emak yang katanya selalu teriak harga-harga serba mahal, tapi berpenampilan serba "wah"! Gak berkah ini, mah!
Sudahlah! Taati saja aturan main yang berlaku! Ciptakan suasana yang sejuk dan kondusif menjelang putaran Pilpres 2019. Para kandidat juga sudah jelas figurnya. Berikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih siapa calon pemimpinnya. Bukan dengan cara provokasi atau intimidasi.
Berekspresi di muka umum tanpa argumen dan dasar hukum yang jelas hanya mempermalukan diri sendiri! Lebih baik diam ketimbang teriak-teriak di jalan, tapi hanya latah dan ikut-ikutan, kecuali kalau memang tak punya kerjaan. Sudah, itu saja! ***
Baca Sumber


